Berhala di Peradaban Digital
RESENSI BUKU:
Menggugat Berhala di Peradaban Digital
Ketika Layar 6 Inci Menjadi Altar: Dari Anak Lembu Emas ke Logika Algoritma
Judul: Berhala di Peradaban Digital: Dari Anak Lembu Emas ke Algoritma
Penulis: Dr. Dharma Leksana, M.Th., M.Si.
Penerbit: PWGI.ORG
Tebal: 65 Halaman
Buku “Berhala di Peradaban Digital: Dari Anak Lembu Emas ke Algoritma” karya Dr. Dharma Leksana adalah sebuah alarm profetik yang sangat dibutuhkan di tengah derasnya arus digitalisasi. Penulis, dengan latar belakang unik sebagai seorang teolog sekaligus wartawan , menawarkan perspektif yang tajam dan mendalam tentang bagaimana fenomena keberhalaan telah berevolusi dari artefak fisik di padang gurun menjadi entitas tak terlihat yang bersemayam di saku kita: layar smartphone.
Inti Pergulatan: Liturgi Algoritma dan Dewa-Dewa Baru
Dr. Dharma Leksana membuka argumentasinya dengan tesis yang provokatif:
“Berhala Tak Pernah Mati, Hanya Berganti Wajah”. Jika dahulu bangsa Israel membuat anak lembu emas sebagai manifestasi rasa cemas dan ketidaksabaran menunggu Musa , kini kita menuhankan Like, Follower, dan Big Data sebagai sumber kepastian dan kendali palsu.
Buku ini membedah wajah-wajah baru berhala digital secara rinci dan kritis:
- Algoritma: Sang Orakel Baru. Algoritma diibaratkan sebagai “berhala tersembunyi yang mengatur dunia”. Kita tidak berdoa padanya, tetapi kita taat padanya, menyesuaikan perilaku dan bahkan jam posting demi “menyenangkan” sistem yang seolah Maha Tahu ini.
- Influencer: Para Imam Dunia Maya. Mereka tidak lagi sekadar figur publik, tetapi menjadi “ikon—sebuah pusat devosi”. Mereka menafsirkan tren dan membentuk norma sosial, seringkali dengan otoritas yang melampaui pemimpin tradisional.
- Smartphone: Altar Portabel. Gawai yang kita genggam setiap hari telah bertransformasi menjadi “pusat devosi modern” yang selalu siap menyajikan “liturgi baru” berupa scroll, like, repeat—sebuah kebiasaan digital yang tanpa sadar telah menjadi bentuk ibadah.
- Ego dan Selfie. Penulis juga mengkritisi narsisme digital, di mana ego menjadi pusat penyembahan, menjadikan selfie sebagai ritual kecil: mengabadikan dan mempersembahkan diri di altar Instagram demi validasi sosial.
Krisis Eksistensial dan Jalan Keluar yang Otentik
Buku ini tidak berhenti pada kritik, tetapi juga mengantarkan pembaca pada krisis yang ditimbulkan: berhala digital mengasingkan kita dari relasi otentik dengan Tuhan dan sesama (Bab 12: Etika Algoritmik).
Konsep-konsep Teologi Digital dari penulis sangat relevan untuk konteks Indonesia, di mana fenomena Gereja Digital dan Ritual Streaming sudah menjadi keseharian.
Sebagai jalan keluar, Dr. Dharma Leksana mengajak kita pada Monoteisme Radikal, sebuah kesadaran bahwa Allah adalah pusat tunggal kehidupan. Solusinya adalah praktik nyata seperti Puasa Digital dan Disiplin Rohani , sehingga kita bisa menempatkan teknologi sebagai alat, bukan tuhan. Inilah visi baru: bukan lari dari dunia digital, tetapi menebusnya untuk memuliakan Allah dan mengasihi sesama.
Buku Ini Wajib Dibaca Jika Anda:
• Ingin memahami akar teologis dan filosofis dari kecanduan media sosial.
• Mencari panduan praktis untuk membangun spiritualitas yang otentik di era digital.
• Seorang pelayan gereja, pegiat media Kristen, teolog, atau jurnalis yang ingin melihat teknologi dengan kacamata kritis.
